Wednesday, June 27, 2012

Bansaburo-dake: If Fairies Do Exist


Kalau peri benar-benar ada, mungkin mereka akan menyukai tempat ini. Di sini ada aliran air yang tenang dan rumput yang menghijau dan pohon-pohon unik. Rusa berteriak bersahut-sahutan dan suara burung juga tak ada hentinya. Serangga semacam jangkrik juga terus berkerik, menemani setiap langkah, membuat hutan ini terasa ramai dan hidup.



Aliran air

Saya siap menyerah dan pulang pagi itu, kembali ke dalam selimut karena kabut lumayan tebal dan hujan turun rintik-rintik. Waktu itu, saya harus mengenakan jas hujan untuk berjalan memasuki kawasan hutan lindung ini. Untungnya, beberapa menit kemudian, hujan berhenti dan kabut mulai  menghilang dengan perlahan, menunjukkan wajah hutan yang sebenarnya.


Rumput di tengah jalan


Saya sempat menghabiskan waktu lebih dari satu jam di pinggir aliran air hanya untuk mengabadikan ketenangan aliran air itu. Saya bertekad untuk membawa pulang sungai yang jernih itu.



Beech Trees


Selain sungai yang jernih, di tengah perjalanan, ada satu daerah yang membuat saya menghentikan langkah kaki dan berdiri sejenak mengaguminya. Pohon-pohon Beech berakar putih yang berjumlah puluhan pohon sudah cukup untuk membawa suasana yang menarik. Saya seolah ditarik ke sebuah dunia yang lain. Saya sempat membayangkan beberapa peri yang bersembunyi di setiap pohon, siap menculik siapapun juga yang berani mengganggu ketenangan mereka.



Titik air


2 Jam dari Yokohama, Bansaburo-dake terletak di Prefektur Shizuoka. Perjalanan ke sini bisa ditempuh dengan menggunakan kereta dan bus. Sayangnya, bus hanya tersedia lima kali pulang pergi setiap harinya, jadi kita perlu mengecek jadwalnya dengan teliti. 




Tanpa perlu masuk sampai terlalu dalampun, Bansaburo sudah bisa membuat kita melupakan kesibukan sehari-hari sambil berjalan santai menyusuri jalan setapak.



Spiderweb




Bagi yang ingin sampai ke puncak, jangan lupa untuk membawa kompas dan peta, karena rutenya kadang sukar untuk dimengerti, terutama perjalanan pulang. Sebuah sungai yang memotong jalan setapak sempat membuat saya kehilangan arah. Untungnya, ada seorang bapak yang bersedia mengantar saya sampai ke halte bus.





Kabut


Cobalah untuk menginap di daerah sekitar Ito Station barang sehari. Dari stasiun, akses ke pantai hanya membutuhkan waktu 10 menit berjalan kaki. Kalau kita sedang dianugerahi cuaca cerah, kita bisa melihat matahari terbit di pantai. Sayangnya, waktu saya kesana, cuaca sedang buruk-buruknya. 




Akses: 
Ito Station, Prefektur Shizuoka
Dari Tokyo Station : 2210 Yen
Dari Yokohama Station : 1620 Yen










Friday, June 22, 2012

Ajisai, Si gadis lincah

Di Jepang, setiap bunga memiliki arti tertentu. Misalnya mawar berarti "cinta" dan Sakura berarti "kecantikan yang suci".

Ada satu bunga yang mekar di musim penghujan, memberikan warna bagi musim yang biasanya dibenci ini.


Ajisai Ungu



Bunga itu bernama Ajisai (Hortensia atau Hydrangea). Arti bunga ini adalah "gadis lincah". Kelincahannya bisa dilihat dari warna bunganya. 




Ajisai Merah Jambu



Warna bunga Ajisai berbeda-beda meskipun berasal dari satu spesies, tergantung dari pH tanah. 

Tanah yang bersifat asam menghasilkan bunga biru, sedangkan tanah basa menghasilkan warna pink, bahkan ungu. Sayangnya, saya belum sempat bertemu dengan Ajisai dengan warna biru. 




Ajisai dengan warna tak jelas



Karena perubahan berdasarkan suasana hati ini, selain berarti "gadis lincah", Ajisai juga berarti "hati yang berubah" dan bahkan "selingkuh"!


Sebelum mekar sempurna Ajisai berwarna keputihan

Sebagai informasi, yang terlihat seperti mahkota bunga itu sebenarnya hanya kelopak bunga. Mahkota bunga Ajisai adalah titik kecil di tengah kelopaknya yang besar itu!


Mahkota bunga yang kecil

Musim hujan tak selalu buruk kan?





----Footnote

Foto-foto Ajisai ini saya ambil di perjalanan menuju Museo d'arte Ghibli, alias Museum Ghibli yang terletak di Mitaka. Saya akan membuat catatan tentang museum ini nanti. Harap ditunggu ya!

Saturday, June 9, 2012

Shibuya, Hachiko Mae



Pasti sudah banyak orang yang mendengar tentang cerita seekor anjing yang setia menanti kepulangan tuannya ini. 


Patung Bronze Hachiko


Dulu, seorang profesor mengadopsi seekor anjing sebagai peliharaannya dan memberi nama Hachiko kepada si anjing. Setiap hari, Hachiko akan menunggu di depan stasiun Shibuya, menanti kepulangan sang profesor. Sampai suatu hari, profesor itu tidak kunjung pulang. Profesor itu meninggal. Sejak saat itu, selama sembilan tahun, Hachiko mengulangi rutinitasnya untuk menanti sang profesor sampai dia sendiri  meninggal.


Satu tembok penuh



Di tahun 1934, sebuah patung didirikan untuk mengenang anjing setia ini.

Selain itu, tepat di depan Hachiko Exit, satu tembok penuh digunakan untuk menggambarkan Hachiko yang sedang bermain.



Scramble Crossroad di depan stasiun Shibuya



Dengan adanya patung itu, seolah Hachiko masih berada di depan stasiun, menanti tuannya untuk pulang sambil memandang hiruk-pikuk anak-anak muda yang meramaikan kota ini.



Friday, June 8, 2012

Jigoku Nozoki, Behind the Scene

Bunga di pinggir jalan
Saya ingat minggu itu adalah minggu yang super sibuk. Pekerjaan demi pekerjaan dengan jadwal yang ketat berdatangan terus ke atas meja saya dan kolega saya. Bersama kami membuka mata lebar-lebar untuk mengecek setiap baris teks yang ada di hadapan kami, menulis baris demi baris program komputer yang tidak ada habisnya. Capek memang, tapi saat saya tahu bahwa saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya tepat waktu, saya nyaris bersorak gembira. Berarti saya mendapatkan hari libur saya di hari Sabtu!



Tangga dan Jalan setapak



Saya tidak peduli saya hanya tidur 3-4 jam hari itu. Saya mengepak beberapa cemilan dan iPod serta baju ganti ke dalam tas ransel saya dan segera melangkahkan kaki menuju Chiba.

Cerita selengkapnya di sini.

Entah kenapa hari itu saya begitu getolnya untuk pergi hiking ke gunung ini. Mata saya masih berat, kaki saya terasa pegal, dan bahu saya terasa kaku. Tapi waktu itu, tinggal di rumah dan beristirahat seperti bukan sebuah pilihan yang menarik.

Maybe, i just want to run away from my daily routines...
Apapun tujuan saya waktu itu, saya bersyukur karena saya masih memiliki kaki untuk berjalan.







             

 Jalan setapak                                                                                                Tangga




Ada satu hal yang saya dapatkan dari hiking kali ini. Mungkin saya selalu mengatakan hal yang sama, tapi saya ingin mengatakannya sekali lagi.

Hiking memang capek. Kaki memang pegal. Tapi, kalau kita terlalu fokus pada rasa sakitnya, kita akan kehilangan kesempatan untuk menikmati pemandangan indah. Pemandangan yang di khususkan bagi mereka yang mau berjalan tanpa menyerah.





Papan nama di Nihonji




Wednesday, June 6, 2012

IC Card: Hasil Teknologi Jepang

Dalam artikel yang satu ini, saya ingin menjelaskan sedikit tentang IC card yang sering dipakai di Jepang. IC card ini tidak hanya bisa digunakan sebagai tiket masuk kereta, tapi juga bisa digunakan sebagai pengganti uang, seperti layaknya kartu prabayar.

Kartu SUICA saya yang saya gunakan sebagai commuter pass
IC card ini mulai meledak beberapa tahun yang lalu karena kepraktisannya. Kita tidak perlu lagi mengantre di depan loket untuk membeli tiket. Kita juga tidak perlu lagi bingung dengan uang receh yang semakin menumpuk setiap kali kita membeli makanan kecil. Kalau habis, kita bisa mengisi ulang kartu ini di stasiun mana saja.

Jepang, terutama daerah di sekitar Tokyo memiliki beberapa jenis IC card. Tapi di sini, saya akan memberikan satu contoh kartu yang disebut SUICA, karena pengguna kartu ini relatif lebih banyak dan cara pembeliannya sangat mudah. Kita hanya perlu berdiri di depan loket otomatis, menekan beberapa tombol, membayar beberapa yen dan tadaaaaa! kartu itu sudah berada di tangan kita!

Di sini, saya akan menjelaskan bagaimana cara membeli, mengisi ulang pulsa kartu, dan me-refund (mengembalikan) kartu tersebut. 

1. Membeli

SUICA bisa dibeli di setiap stasiun JR di daerah sekitar Tokyo. Pertama yang perlu kita lakukan adalah menghampiri mesin seperti di foto di bawah ini. Tidak perlu pikir panjang, pencet saja bahasa inggris. 


Mesin penjual tiket

Untuk membeli, tekan "Purchase new SUICA" dan kita akan dipandu dalam proses pembelian. Di sini kita bisa memilih untuk membeli MySUICA atau SUICA. SUICA adalah IC card standard. Kalau kita membeli MySUICA, kita bisa menulis nama kita di atas kartu, tapi saat kita ingin me-refund, kita diharuskan untuk menunjukkan identitas diri. 

Setelah itu, kita harus membayar 2000 Yen (sekitar 200.000 Rupiah). Nominal sebesar 500 Yen akan digunakan sebagai deposit, jadi kita bisa memiliki 1500 Yen untuk digunakan.



Tekan "Purchase" untuk membeli dan "Charge" untuk mengisi ulang


2. Mengisi ulang.

Sama dengan cara membeli, hanya saja pencet saja "Charge" dan isi ulang kartu dengan nominal sesuka hati.



MySUICA atau SUICA?


3. Refund

Refund bisa dilakukan di semua kantor Midori no Madoguchi Ticket Office milik JR di daerah Tokyo dan sekitarnya. Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan saat melakukan refund.
  • Jika pulsa melebihi 210 Yen, maka kita diharuskan untuk membayar uang administrasi sebesar 210 Yen. Jadi kalau tidak mau rugi, pakai pulsa sampai habis dulu sebelum refund.
  • Pengembalian mySUICA memerlukan identitas diri seperti paspor atau KTP

4. Lain-lain

SUICA adalah IC card yang hanya bisa digunakan di daerah Tokyo dan sekitarnya. Setiap daerah memiliki IC card mereka sendiri-sendiri, seperti ICOCA untuk daerah Osaka dan sekitarnya, Kitaca untuk daerah Hokkaido dan sekitarnya dan masih banyak lagi.


Selamat menikmati kepraktisan teknologi Jepang!

Tuesday, June 5, 2012

Nokogiri yama: Mengintip Neraka


Plat tanda masuk menuju Nokogiri Yama: Ke Kiri!
Pagi itu saya memang sudah berniat untuk berjalan ke gunung yang satu ini. Gunung ini terletak di daerah Chiba Prefektur, di pinggir laut. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, gunung ini pernah menjadi tambang batu yang terkenal karena kekokohan batunya. Sebut saja kuil Yasukuni dan universitas kawakan macam Waseda. Mereka juga menggunakan batu dari gunung ini. 

Jalan setapak Nokogiri Yama
Pemandangan gunung ini memang sudah tidak alami lagi karena penambangan batu bertahun-tahun yang lalu itu. Tapi, hasil tangan manusia itu malah menghasilkan sebuah karya seni yang megah. Cekungan-cekungan hasil potongan batu berbentuk kubus-kubus menjadi semacam tetris yang gagal. 
Beberapa daerah masih memperlihatkan sisa penambangan. Saya melihat bangku-bangku kayu dan alat penambangan dikumpulkan di satu tempat. Bahkan ada sebuah tempat yang lumayan mengerikan karena cekungannya menggenang air, membuat suasana menjadi dingin, membuat kita merasa sedang berpetualang.




Tebing Jigoku Nozoki: Mengintip Neraka















Menurut saya, daya tarik Nokogiri yama ada tiga. Yang pertama adalah Nihonji, sebuah kompleks kuil yang dibangun di pegunungan. Struktur bangunannya membuat saya jadi ingat film-film silat yang mengharuskan murid perguruan menimba ilmu di kuil pegunungan semacam ini. Banyak tangganya! Saya  membayangkan murid-murid itu mengangkut air menaikki tangga yang membuat saya ngos-ngosan itu.
Yang kedua adalah Daibutsu yang berada di kompleks Nihonji. Daibutsu di Kamakura yang terkenal itu berukuran 13,35 meter. Dengan ketinggiannya yang mencapai 31 meter, Daibutsu milik kompleks Nihonji ini menjadi Daibutsu dalam posisi duduk tertinggi di negeri sakura ini. Sayangnya, hanya segelintir orang saja yang tahu pada fakta ini.

Kita bisa naik ke sana




















Yang ketiga adalah Jigoku-Nozoki, yang arti literalnya, tempat untuk mengintip neraka. Tapi jangan mengharapkan lautan api, karena nama tebing ini sama sekali tidak sesuai dengan pemandangan yang ia sediakan bagi pemanjat. Jigoku Nozoki menyajikan sebuah pemandangan luas, paduan antara teluk Tokyo, hutan dan jalan raya.
Jigoku-Nozoki adalah sebuah tebing yang dihasilkan oleh penambangan batu. Tebing itu menonjol keluar, seolah bisa patah kapan saja. Berdiri di atas tebing itu, membuat kaki saya geli dan membayangkan atraksi jet-coaster. Bagi yang punya nyali, silakan melongokkan kepala dan menatap pemandangan di bawah.



Tips untuk menikmati hiking Nokogiri Yama:

Bekas Penambangan
Setiap gunung punya wajah mereka sendiri. Nokogiri-yama juga memiliki wajahnya. Seperti yang saya katakan tadi, gunung ini adalah hasil kolaborasi alam dan manusia. Sebuah hasil karya seni. Tapi karya seni bukan hanya bisa dilihat tapi juga bisa didengar. Lain dengan Kamakura dan Yakushima, saya bisa mendengar suara cericip burung di setiap tangga yang saya naiki. Kalau sempat, jangan hanya melihat pemandangan, tapi sediakan ruangan bagi telinga untuk mendegar paduan cericip burung dan gesekan ranting pohon.














Bekas penambangan
Hiking di Nokogiri Yama membutuhkan kejelian untuk melihat setiap papan penunjuk jalan. Saya sempat nyaris tersesat karena kurang teliti melihat papan penunjuk. 
Bagi yang tidak suka hiking, juga disediakan rope-way seharga 500 Yen untuk tiket sekali jalan atau 900 Yen untuk tiket pulang-pergi ke kompleks Nihonji.
Jangan lupa membawa bekal makan siang untuk dinikmati di dekat Daibutsu.



















Hyaku-shaku Kannon


Akses:

Dari Tokyo gunakan bus ke Kimitsu Station. Dari Kimitsu Station, pindah kereta Uchibo Line turun di Hamakanaya Station.
Dari Yokohama gunakan Yokosuka Line ke Kurihama Station. Dari Kurimaha Station, jalan kaki ke pelabuhan Kurihama sekitar 30 menit dan naik Feri ke pelabuhan Kanaya.










Daibutsu
























Map:

Larger map for Nokogiri Yama